Home Daerah Konflik di Gaza Dalam Bingkai Ke-Indonesiaan

Konflik di Gaza Dalam Bingkai Ke-Indonesiaan

371
0
SHARE

Penulis: Dr. Bambang Triono, M.Div, M.Pd

MCI.com, KOTA TANGERANG – Konflik bersenjata yang kembali berkecamuk di Jalur Gaza awal Oktober lalu, antara Hamas (salah satu faksi dalam Negara Palestina) dengan Israel.

Konflik terbaru (entah yang ke berapa, karena terlalu sering terjadi) dipicu oleh serangan membabibuta ‘tentara’ Hamas ke wilayah Selatan Israel pada hari Sabtu tanggal 7 Oktober 2023, yang telah menewaskan ratusan warga sipil Israel dan menggiring ratusan warga sipil lainnya ke Gaza untuk dijadikan sebagai sandera.

Serangan Hamas ini memicu kemarahan Pemerintah Israel, karena dilancarkan tepat pada puncak perayaan Sukot dimana orang Yahudi biasa berhimpun untuk bersukacita memuji Tuhan, setelah ‘berkabung’ selama 7 hari dengan tinggal di dalam pondok-pondok yang terbuat dari dedaunan, mengenang pengembaraan nenek moyang mereka di padang gurun selama 40 tahun.

Serangan ini juga mengoyak kembali ‘memori luka lama’ tentang perang Yom-Kippur yang terjadi pada tahun 1973. Memori luka lama inilah (menjadi salah satu faktor) yang memicu kemarahan Israel dalam melakukan serangan-serangan balasan hingga sekarang

Ada dua variabel pembahasan berdasarkan alur judul di tulisan ini, yakni ‘Konflik Gaza’ dan ‘Bingkai Ke-Indonsiaan’.

Penulis tidak membahas variable yang pertama secara detail dan mendalam, karena dua alasan:

(1) karena sudah banyak pihak (bahkan pakar) yang membahasnya lebih komprehensif dan, tentu saja, lebih akurat dan lebih kredibel.

(2) karena rumitnya permasalahan terkait konflik tersebut karena Israel dan Palestina (cq. Hamas), memiliki klaim kebenaran menurut versinya masing-masing, baik klaim sejarah maupun klaim teologis.

Oleh karena itu penulis lebih memilih untuk berkonsentrasi pada variable ‘bingkai ke-Indonesiaan’ di dalam melihat konflik tersebut.

Yang Penulis maksudkan dengan ‘Bingkai ke-Indonesiaan’ dalam alur judul tulisan ini ialah soal bagaimana kita melihat konflik di Gaza tersebut dalam bingkai kepentingan Nasional kita sebagai bangsa Indonesia.

Dan seyogyanya, kita berharap bahwa, semua kepentingan Nasional kita itu harus dikelola berdasarkan (sesuai dengan) amanat Pancasila dan UUD-1945; bukan berdasarkan sentiment primordial: suku, ras dan agama tertentu.

Terkait dengan persoalan geopolitik, kepentingan Nasional kita adalah memperjuangkan tegaknya sila kedua: ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’, sebagai landasan idial, dan melaksanakan amanat Pembukaan UUD-1945: ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia’, sebagai landasan konstitusional.

Landasan idial dan landasan konstitusional ini kemudian diejawantahkan ke dalam landasan operasional berupa doktrin Politik Luar Negeri yang :bebas aktif’.

Dalam konteks ini kita mengapresiasi peran aktif Pemerintah kita di dalam menyikapi konflik Gaza, termasuk dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan untuk mereka yang terdampak.

Dalam bentuk diplomasi verbal, entah sudah berapa banyak Pemerintah kita (baik oleh Presiden Joko Widodo sendiri maupun oleh Menlu Retno Marsudi) mengutuk keras, atas nama kemanusiaan dan perdamaian dunia, terhadap serangan Israel ke Gaza tersebut.
Tetapi sekaligus juga kita perlu mengkritisi sikap aktif Pemerintah kita tersebut, sebab kutukan keras hanya disasarkan kepada Israel atas serangannya ke Gaza yang dianggap telah menimbulkan tragedi kemanusiaan di pihak Palestina; tetapi sebaliknya, Pemerintah kita bersikap diam (terkesan ‘memaklumi’ bahkan ‘mendukung’) terhadap serangan Hamas ke Israel yang juga mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan di pihak Israel.

Sikap Pemerintah kita yang terkesan tidak equal ini membuat implementasi Politik Luar Negeri kita dalam konteks konflik Gaza – Isarel menjadi terkesan ‘aktif, tetapi tidak bebas’; dalam hal ini ‘tidak bebas dari kepentingan dan sentiment tertentu’.

Dalam konteks ini penulis bersepakat dengan kritik keras yang dilancarkan oleh Pdt. Gilbert Lumoindong, dalam beberapa tayangan youtubenya.

Dalam sebuah tayangan youtubenya, hamba Tuhan ini menyampaikan masukan secara tidak langsung kepada Presiden Joko Widodo lewat apa yang disebutnya sebagai ‘speech terbuka’.
Dalam speech terbukanya itu beliau mengingatkan (antara lain) soal hukum tabur-tuai dalam kaitan dengan kutuk mengutuk. Hukum tabur tuai mengajarkan sebuah kebenaran universal bahwa ‘apa yang ditabur orang, itulah yang akan dituainya. Menabur berkat, akan menuai berkat dan menabur kutuk, akan menuai kutuk’.

Penulis mencoba untuk mencerna landasan pemikiran di balik kritik hamba Tuhan tersebut dalam bingkai ke-Indonesiaan.

Sebagai seorang warga negara Indonesia ‘asli’, yang juga sebagai salah seorang pemangku kepentingan (stakeholder) dari Negara ini, tentu saja hamba Tuhan ini tidak mau Negaranya terdampak hukum tabur tuai tersebut.
Apalagi sebagai seorang hamba Tuhan (pendeta Kristen), beliau pasti tidak jauh dari kebenaran Alkitab bahwa TUHAN Allah (Yahweh Ellohim) akan memberkati barangsiapa yang memberkati Israel, dan akan mengutuk barangsiapa yang mengutuk Israel
(Kejadian 12:3; Bilangan 24:9).

Landasan pikiran Hamba Tuhan di atas, khususnya yang berdimensi teologis, bisa saja diperdebatkan oleh karena perbedaan perspektif dalam keimanan dan ajaran Kitab Suci.

Masing-masing orang tentu akan berpegang pada ajaran Kitab Sucinya, dan pasti berbeda perspektif di dalam melihat masalah Israel. Tetapi, setidaknya, semua orang pasti bersetuju dengan prinsip hukum tabur tuai bahwa orang yang memberkati, akan diberkati dan orang yang mengutuk, pasti akan dikutuk.
Bahkan, terkait dengan kutuk mengutuk (perkataan, sikap dan perbuatan negatif),
ada pameo universal yang mengingatkan: ‘barangsiapa menabur angin akan menuai badai’.

Dalam teropong bingkai ke-Indonesiaan pula,
kita prihatin melihat terjadinya polarisasi yang cukup masif di tengah masyarakat kita berupa keterbelahan dalam dukung mendukung berdasarkan sentiment agama, khususnya antara orang Muslim dengan orang Kristen: ‘orang Muslim mendukung Palestina dan orang Kristen mendukung Israel’. Keadaan ini kontra produktif dan berpotensi mengancam kepentingan Nasional kita; khususnya dalam pengamalan sila ‘Persatuan Indonesia’.

Orang Indonesia tidak mungkin tidak beragama; sebab beragama adalah nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur bangsa sejak zaman dahulu kala.

Oleh karena itulah maka para penggagas dan perumus Pancasila sebagai Dasar Negara memilih sila ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ sebagai landasan idial bagi kehidupan beragama di Indonesia.

Kemudian dirumuskanlah landasan konstitusionalnya di dalam pasal 29 UUD-1945 yang antara lain berbunyi: ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Dapat dikatakan bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa dan bunyi pasal 29 UUD-1945 itu menjadi payung yang kokoh bagi kebebasan beragama di bumi persada Indonesia.

Di bawah payung kebebasan beragama tersebut, semua orang Indonesia bebas untuk mengekspresikan perasaan beragamanya masing-masing; dan, dalam mengekspresikan perasaan beragama tersebut, pasti tak ketinggalan pula ‘sentiment keagamaan’.

Sentiment keagamaan itu, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi merusak sendi-sendi persatuan dan kesatuan di dalam masyarakat. Mungkin untuk mengantisipasi hal inilah maka Bung Karno pernah berpesan:

‘Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi.
Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini’. Bambang/Radius Sinaga

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here